Selasa, 14 Oktober 2008

Sejarah Menjawab Panggilan Tuhan

(Sr. Patricia Casiana PMY)

Menjawab panggilan Tuhan adalah sebuah pengalaman hidup yang mendalam karena melibatkan iman, kemauan dan keberanian. Dalam menjawab panggilan Tuhan pun ternyata tidak bisa sekali jadi, tetapi harus melalui sebuah proses terus menerus bahkan seumur hidup. Bagaimana dan mengapa saya bergabung dengan para Suster Tarekat Putri Maria dan Yosef untuk menjawab panggilan Tuhan?

Menjadi religius atau menjadi seorang biarawati bukanlah cita-cita saya sewaktu kecil. Namun berdasarkan pengalaman, muncul kesadaran dan pemahaman bahwa ternyata setiap orang dalam hidupnya dihadapkan pada sebuah pilihan yaitu pilihan untuk menghayati hidup dan kehidupan sesuai dengan keyakinan sebagai jawaban atas panggilan Tuhan.

Perkenalan saya dengan kaum religius sebenarnya sudah sejak masa kanak-kanak karena dari keluarga Bapak ada dua orang yang menjadi religius yaitu 1 Bruder FIC (Paklik dari Bapak/Adik dari Kakek) dan 1 Suster OSF Semarang (kerabat dekat dari Bapak). Namun demikian toh belum tersentuh untuk mengikuti jejak mereka hingga mereka dipanggil menghadap Tuhan. Memang ada sesuatu yang membekas di hati yaitu perasan senang, damai dan bahagia saat bertemu atau bersama mereka. Namun itu pun hanya sebatas pada perasaan senang, belum membangkitkan keinginan untuk hidup membiara. Memang dari kakak sering diberitahukan tentang hidup seorang religius (Pastor, Bruder, Suster yang menghayati hidup Wadat, Taat lan Mlarat – saya rasa pengetahuan yang sangat sederhana waktu itu). Selain mereka, saya telah mengenal sebuah Tarekat yang mengelola Sekolah Keguruan di mana saya menuntut ilmu bahkan bekerja di tempat yang dikelola oleh Tarekat yang sama. Juga saat mendapat pekerjaan baru pun, saya diterima di sekolah yang dikekola oleh sebuah Tarekat Suster. Walau demikian, hati juga belum tergerak sedikitpun untuk memilih hidup membiara. Memang dalam perjalanan waktu, saat hidup harus memilih, saya mencoba untuk bertanya pada diri sendiri. Mau apa dengan hidup ini? Pertanyaan itulah yang menghantar saya pada suatu pilihan hidup.

Pada pertengahan tahun 1983, untuk pertama kalinya saya mengenal dunia pendidikan anak tuna rungu. Mungkin peristiwa ini sangat sederhana dan sangat biasa. Peristiwa yang tidak pernah direncanakan sebelumnya, datang begitu saja, namun peristiwa ini mampu mengubah apa yang ada di dalam hati dan pikiran bahkan memberikan penegasan dalam menanggapi panggilan hidup. Saya yakin bahwa Tuhan sedang berkarya dalam diri saya, dan inilah yang juga saya yikini sebagai Penyelenggaraan Ilahi.

Saat peristiwa itu terjadi, saya masih berstatus sebagai Guru di sebuah sekolah milik sebuah Tarekat Suster di Pekalongan. Selama menjadi Guru kurang lebih lima tahun di Sekolah yang cukup terkenal (sebelumnya telah bekerja selama tiga setengah tahun di luar Jawa, juga milik sebuah Tarekat), dari segi materi boleh dibilang cukup, sebuah Sekolah dengan kondisi yang cukup menjajikan untuk masa depan. Jumlah Siswa selalu melimpah dengan tingkat kecerdasan yang baik dan dengan kondisi ekonomi yang bagus juga. Maka dapat dibilang semuanya serba berkecukupan. Maka selama beberapa tahun itu, saya sungguh tidak pernah mengalami kesulitan yang berarti dalam tugas sebagai Guru. Semua bisa berjalan dengan lancar. Namun itu semua berubah saat saya diajak berkunjung ke SLB/B Dena-Upakara Wonosobo. Kunjungan ini pun sebenarnya tidak sengaja karena hanya mampir setelah mengikuti acara Acies Legio Maria di Ungaran. Saya belum pernah bersentuhan dengan dunia pendidikan luar biasa, selain tahu bahwa ada Sekolah Luar Biasa di Wonosobo (pelajaran IPS saat SD). Rupa-rupanya, dengan kunjungan tersebut Tuhan memberi jalan terbentang bagi saya untuk menjawab panggilan-Nya.

Dalam kunjungan tersebut, saya tersentak saat menyaksikan seorang Suster Misionaris yang sudah cukup berumur sedang mengajar dan melatih wicara seorang gadis kecil yang tuna rungu dan tuna wicara. Sungguh perjumpaan tersebut mampu menggugah rasa perasaan dan hati saya sungguh tersentuh untuk terlibat di dalam pendidikan anak tuna rungu. Saya sungguh “Jatuh Cinta” pada anak-anak tuna rungu (dalam rangka 70 th Dena-Upakara, saya telah menuliskan pengalaman ini dengan judul – Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama).

Sejak saat itu, saya merasa ditantang oleh ‘dunia’ pendidikan anak tuna rungu. Saya yang telah bertahun-tahun menjadi Guru tanpa kesulitan yang berati dalam mengajar dan mendidik anak-anak tiba-tiba dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa ada bidang pengajaran lain yang lebih sulit dan menantang. Setelah melihat, mendengar, mengalami dari dekat proses Kegiatan Belajar Mengajar di dunia pendidikan anak tuna rungu, saya merasa betap sulitnya mengajar anak-anak tuna rungu baik dalam proses KBM maupun dalam kegiatan sehari-hari. Kesulitan yang saya lihat justru menantang saya untuk ikut terlibat di dalamnya. Ternyata di daerah pegunungan yang sejuk ada karya yang sangat luar biasa oleh para Suster yang berjuang untuk mengajar, mendidik anak-anak tuna rungu supaya mereka mampu berbicara dan bersosialisasi dengan masyarakat luas.

Mungkin inilah yang disebut panggilan Tuhan, pengalaman sederhana mampu mengubah haluan dari perjalanan hidup yang sudah sekian tahun saya jalani. Setelah melalui proses panjang (pernah sempat tidak mau kontak lagi karena merasa didesak-desak untuk segera masuk biara), saya yakin bahwa pertemuan saya dengan Suster Misionaris (kemudian saya ketahui beliau adalah Sr. Henricia PMY) dan perjumpaan saya dengan gadis kecil siswi SLB/B Dena-Upakara, merupakan jalan bagi panggilan hidup saya sekaligus sebagai jawaban saya atas panggilan Tuhan. Setelah beberapa tahun kemudian yaitu pada tahun 1985 saya resmi menggabungkan diri dengan para Suster Putri Maria dan Yosef sebagai Postulan bersama 2 teman yang lain

Mengapa saya masuk Tarekat Suster Putri Maria dan Yosef? Saya sendiripun tidak tahu persis karena sebelum saya menggabungkan diri dengan Tarekat Suster PMY, saya tidak tahu nama Tarekat Suster PMY – yang saya tahu bahwa ada Suster di Wonosobo yang berkarya untuk anak-anak tuna rungu dan saya tertarik karena itu.. Tetapi bila dirunut, mungkin juga sebuah kebetulan. Dari lingkungan keluarga, sejak kecil telah dibiasakan untuk berdoa Rosario bersama, dengan demikian sudah lama mengenal Bunda Maria. Setelah bekerja, di sela-sela kesibukan sebagai Guru saya aktif sebagai Anggota Legio Maria dengan tugas-tugas pelayanan sosial di lingkungan Gereja. Saat memutuskan pilihan inipun tidak terlepas dari peranan Bunda Maria, karena sehari sesudah mengadakan perjalanan Ziarah ke Bunda Maria (dalam keadaan sakit), saya mendapat berita bahwa saya diterima sebagai calon Suster di Wonosobo. Dan ternyata Tarekat yang saya pilih adalah Tarekat Suster Putri Maria dan Yosef .

Jalan Tuhan memang sungguh tak terpahami tetapi bisa dialami. Ketertarikan saya pada pendidikan anak tuna rungu menghantar saya pada panggilan Tuhan dan jawaban saya kepada-Nya. Saya sungguh sangat mencintai anak-anak tuna rungu sampai kapan pun. Karena merekalah saya mampu menanggapi panggilan Tuhan dengan menghayati hidup sebagai seorang bviarwati dalam Tarekat Suster Putrei Maria dan Yosef. Dari hari ke hari saya semakin memahami kehadiran Tuhan yang memberikan perhatian khusus kepada mereka yang tuli (Mrk 7:31-37). Saya semakin menyadari bahwa saya dipanggil dan diutus untuk ikut terlibat dalam pendidikan anak tuna rungu, walaupun ternyata dalam perlajanan waktu, saya tidak selalu berkarya di antara mereka. Terima kasih, Tuhan atas panggilan hidup yang saya jalani ini. Terima kasih pula karena saya bisa merasa dan mengalami bahwa ternyata semuanya mnejadi indah pada waktunya. Iman, kemauan, dan keberanian sungguh-sungguh menjadi acuan untuk menjalani dan menghayati hidup setiap hari. ***

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hhmmm... perjalanan iman memang tak terselami dan takterterka..
Tuhan sungguh memilih org2 yg "tepat" untuk Dia panggil. termasuk kamu. Selamilah Tuhan dengan apa adanya Bunda Maria. Kehebatan perawan yang sungguh sangat berpengaruh bagi kita.. (kamu dan juga saya)
-GBU in Marrie-